Back

USD/IDR Gagal Tembus Resistance, namun Rupiah Masih Tertekan setelah Cadangan Devisa Indonesia Turun

  • USD/IDR gagal menembus resistance 16.550-16.600, namun tekanan terhadap Rupiah masih kuat.
  • Cadangan devisa Indonesia turun ke USD 152,5 miliar akibat pembayaran utang dan intervensi stabilisasi rupiah.
  • Ketidakpastian global dan repatriasi dividen meningkatkan permintaan Dolar AS, melemahkan nilai tukar Rupiah.

Nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih menghadapi tekanan signifikan di tengah ketidakpastian pasar global. Meski sempat menunjukkan tanda-tanda penguatan, pasangan mata uang USD/IDR belum mampu menembus level resistance utama di kisaran 16.550 hingga 16.600. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tekanan terhadap mata uang Garuda belum sepenuhnya surut, yang saat ini melemah di 16.512.

Cadangan devisa Indonesia per akhir April 2025 tercatat sebesar 152,5 miliar dolar AS, mengalami sedikit penurunan dari posisi Maret 2025 sebesar 157,1 miliar dolar AS. Menurut Bank Indonesia (BI), penurunan ini dipicu oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar yang dilakukan untuk menjaga ketahanan eksternal. Meski menurun, cadangan tersebut masih mencukupi untuk membiayai 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri, jauh di atas ambang batas kecukupan internasional.

Erwin Gunawan Hutapea, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas di BI, mengungkapkan bahwa tekanan terhadap Rupiah berpotensi berlanjut dalam dua bulan ke depan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan Dolar AS di dalam negeri, terutama untuk repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri korporasi. Untuk itu, BI menegaskan komitmennya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan intervensi di pasar valas, termasuk melalui instrumen Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), Non-Deliverable Forward (NDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN).

Menurut Erwin, nilai tukar Rupiah sempat menguat hingga menembus batas bawah Rp 16.500 per dolar AS, tetapi belum mampu melampaui level Rp 16.400, yang menjadi acuan penting dalam perdagangan saat ini, yang dikutip dari Kompas.

Di sisi global, sentimen pasar masih diliputi ketidakpastian akibat kebijakan tarif proteksionis Presiden AS Donald Trump dan konflik geopolitik, termasuk ketegangan antara India dan Pakistan. Meskipun ada harapan dari rencana perundingan dagang AS-Tiongkok pada akhir pekan di Jenewa, investor tetap cenderung mengalihkan dana ke aset-aset safe haven. Akibatnya, pasar negara berkembang seperti Indonesia terus mengalami tekanan, terutama pada nilai tukar dan arus modal.

Penguatan Indeks Dolar AS (DXY) menjadi indikator utama tekanan eksternal terhadap Rupiah. Saat berita ini ditulis, DXY berada di level 100,10 dengan kecenderungan untuk menguat lebih lanjut, didorong oleh sikap hati-hati Federal Reserve (The Fed) dalam menavigasi tantangan ekonomi. Dalam keputusan terbarunya, The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%-4,50%, sambil menyoroti risiko meningkatnya inflasi dan pengangguran di AS.

Meski demikian, pasar masih berekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Juli, berdasarkan alat prediksi FedWatch milik CME Group. Ini menandakan adanya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi AS yang bisa mendorong pelonggaran kebijakan moneter ke depan.

Ketua The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers menyampaikan bahwa kebijakan perdagangan AS saat ini dapat menjadi penghambat tercapainya target inflasi dan kestabilan pasar tenaga kerja. Ia menambahkan bahwa ketidakpastian kebijakan fiskal dan ekonomi mendorong The Fed untuk mengadopsi pendekatan “tunggu dan lihat” sebelum mengambil langkah berikutnya dalam pengaturan suku bunga.

Secara keseluruhan, kombinasi tekanan eksternal dan dinamika permintaan Dolar di dalam negeri menjadi tantangan ganda bagi Rupiah. Meskipun fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat, ketidakpastian global dan sentimen pasar akan tetap menjadi faktor penentu arah pergerakan mata uang dalam waktu dekat.

Pertanyaan Umum Seputar PERANG DAGANG AS-TIONGKOK

Secara umum, perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih akibat proteksionisme yang ekstrem di satu sisi. Ini mengimplikasikan penciptaan hambatan perdagangan, seperti tarif, yang mengakibatkan hambatan balasan, meningkatnya biaya impor, dan dengan demikian biaya hidup.

Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada awal 2018, ketika Presiden Donald Trump menetapkan hambatan perdagangan terhadap Tiongkok, mengklaim praktik komersial yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual dari raksasa Asia tersebut. Tiongkok mengambil tindakan balasan, memberlakukan tarif pada berbagai barang AS, seperti mobil dan kedelai. Ketegangan meningkat hingga kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Satu pada Januari 2020. Perjanjian tersebut mengharuskan reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan Tiongkok serta berpura-pura mengembalikan stabilitas dan kepercayaan antara kedua negara. Pandemi Coronavirus mengalihkan fokus dari konflik tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Presiden Joe Biden, yang menjabat setelah Trump, mempertahankan tarif yang ada dan bahkan menambahkan beberapa pungutan lainnya.

Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden AS ke-47 telah memicu gelombang ketegangan baru antara kedua negara. Selama kampanye pemilu 2024, Trump berjanji untuk memberlakukan tarif 60% terhadap Tiongkok begitu ia kembali menjabat, yang ia lakukan pada tanggal 20 Januari 2025. Perang dagang AS-Tiongkok dimaksudkan untuk dilanjutkan dari titik terakhir, dengan kebijakan balas-membalas yang mempengaruhi lanskap ekonomi global di tengah gangguan dalam rantai pasokan global, yang mengakibatkan pengurangan belanja, terutama investasi, dan secara langsung berdampak pada inflasi Indeks Harga Konsumen.


 

EUR/INR Hari Ini: Kurs Lintas Rupee India Beragam di Awal Sesi Eropa

Rupee India (INR) diperdagangkan bervariasi di awal hari Kamis, menurut data FXStreet. Euro (EUR) terhadap Rupee India diperdagangkan di 95,74, dengan pasangan mata uang EUR/INR mengalami penurunan dari penutupan sebelumnya di 95,75
Baca selengkapnya Previous

Indeks Dolar AS Menguat Mendekati 100,00 karena Kehati-hatian The Fed, Klaim Tunjangan Pengangguran Awal Dipantau

Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur Dolar AS (USD) terhadap sekeranjang enam mata uang utama, melanjutkan kenaikan untuk sesi kedua berturut-turut, berada di dekat 100,00 pada saat berita ini ditulis. DXY mungkin terus menguat di tengah sikap kebijakan hati-hati Federal Reserve (The Fed)
Baca selengkapnya Next