Back

Kurs Rupiah Indonesia Melemah Tajam ke 16.800 Usai Libur Lebaran, Tekanan Tarif AS, Gejolak Global Membayangi

  • Kurs Rupiah terdepresiasi ke kisaran Rp16.800 per USD saat pembukaan pasar pasca libur Lebaran, dipicu tarif 32% AS terhadap produk Indonesia.
  • Bank Indonesia intervensi agresif di pasar NDF untuk meredam tekanan nilai tukar dan menjaga stabilitas makroekonomi.
  • Inflasi Indonesia di bulan Maret naik 1,03% yoy, didorong kenaikan harga emas perhiasan dan konsumsi jelang Idul Fitri, sementara tekanan eksternal tetap tinggi.

Nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) kembali melemah tajam pada hari Selasa, saat pasar keuangan Indonesia kembali dibuka usai libur Lebaran. Rupiah sempat terpuruk hingga menyentuh kisaran Rp16.800 per USD di tengah akumulasi volume perdagangan selama libur panjang. Tekanan terhadap Rupiah semakin membesar setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada pekan lalu resmi menerapkan tarif sebesar 32 persen terhadap berbagai produk asal Indonesia yang akan mulai diberlakukan pada 9 April 2025.

Momentum Lemah di Tengah Lemahnya Dolar AS, BI Intervensi

Meskipun Dolar Amerika Serikat (USD) menunjukkan pelemahan terhadap sejumlah mata uang utama—yang tercermin dari penurunan Indeks Dolar AS (DXY) ke level 102,82 setelah mencatat penguatan selama dua hari berturut-turut—Rupiah masih belum mampu memanfaatkan momentum tersebut secara maksimal. Pasar tampaknya masih merespons negatif berbagai isu global dan domestik yang mencuat selama libur Lebaran, termasuk kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia dan meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi global.

Pengamat pasar uang sekaligus Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menilai bahwa pergerakan Rupiah pada hari ini cenderung fluktuatif. "Kemungkinan Rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.800 pada awal perdagangan, namun ada potensi menguat dan ditutup di level sekitar Rp16.700 jika sentimen membaik di akhir sesi," ujarnya.

Rupiah sempat menembus level psikologis Rp17.000 per USD di pasar non-deliverable forward (NDF) selama periode libur Lebaran, menandakan kekhawatiran pasar atas dampak kebijakan proteksionis tersebut terhadap kinerja ekspor Indonesia dan aliran modal asing.

Merespons kondisi tersebut, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah strategis melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 7 April 2025. BI memutuskan untuk melakukan intervensi di pasar offshore (NDF) guna meredam gejolak nilai tukar. Dalam pernyataannya, BI menegaskan komitmen untuk terus melakukan intervensi secara agresif di pasar keuangan demi menjaga stabilitas nilai tukar dan memperkuat ketahanan makroekonomi nasional.

Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Listya Endang, dalam keterangannya kepada Tempo.co menyatakan bahwa investor global cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, demi mengejar imbal hasil lebih tinggi dari aset berdenominasi Dolar. Ia memperingatkan bahwa tanpa langkah cepat pemerintah untuk menstabilkan ekspektasi pasar, dapat timbul efek domino yang berujung pada lonjakan inflasi dari barang impor, memburuknya defisit transaksi berjalan, hingga menurunnya kepercayaan investor asing.

Inflasi Konsumen Indonesia Naik, Tapi Di Bawah Ekspektasi

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi harga konsumen Indonesia pada bulan Maret 2025 tercatat sebesar 1,03 persen secara tahunan (year-on-year), dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) berada pada level 107,22. Angka ini membalikkan penurunan 0,09 persen pada bulan sebelumnya, meski masih di bawah ekspektasi pasar sebesar 1,16 persen. Emas perhiasan menjadi komoditas utama penyumbang inflasi, dipicu oleh meningkatnya permintaan selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.

Secara bulanan (month-to-month), IHK mencatat kenaikan sebesar 1,65 persen pada Maret—tertinggi sejak Desember 2014—setelah mencatat deflasi 0,48 persen pada bulan Februari. Kenaikan ini sedikit lebih rendah dari estimasi pasar sebesar 1,79 persen, dipengaruhi oleh efek dasar rendah akibat penurunan tarif listrik sebelumnya.

Inflasi inti, yang mengecualikan harga pangan dan energi yang bergejolak, tetap stabil di angka 2,48 persen secara tahunan, sama seperti bulan sebelumnya, mencerminkan tekanan harga yang masih relatif terkendali di sektor non-volatile.

Ketidakpastian Global dan Ancaman Resesi AS

Dari sisi global, pasar keuangan tengah dibayangi ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan proteksionis AS yang dikhawatirkan akan mendorong ekonomi negara tersebut ke jurang resesi. Ketidakpastian ini memicu ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga acuan. 

Tekanan pasar juga terasa di kawasan Asia, setelah indeks saham di daratan Tiongkok dan Hong Kong anjlok tajam pada hari Senin. Pemerintah Tiongkok melalui dana kedaulatannya turun tangan untuk menstabilkan pasar, menandakan kekhawatiran yang meluas di tingkat regional. Sementara itu pada hari Selasa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau melemah tajam pada penutupan sesi pertama hari ini. Mengacu pada data RTI Business, IHSG terkoreksi hingga 502,143 poin atau setara dengan penurunan 7,71%, dan bertengger di level 6.008, yang sebelumnya dibuka di 5.914.

Lembaga keuangan global turut merevisi proyeksi ekonomi mereka. Goldman Sachs kini memprediksi kemungkinan terjadinya resesi di AS dalam 12 bulan ke depan sebesar 45 persen, naik dari proyeksi sebelumnya. JPMorgan juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi AS dari 1,3 persen menjadi kontraksi 0,3 persen, akibat tekanan dari tarif baru yang diberlakukan.

Fokus Pasar Tertuju pada The Fed dan Data Inflasi AS

Para pelaku pasar akan mencermati dengan saksama risalah rapat kebijakan terbaru The Federal Reserve yang dijadwalkan rilis pada Rabu. Sementara itu, data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang akan dirilis Kamis dan Indeks Harga Produsen (IHP) AS pada Jumat diprakirakan menjadi indikator penting untuk melihat arah kebijakan suku bunga The Fed ke depan. Meski tekanan pasar meningkat, Ketua The Fed Jerome Powell hingga kini masih menegaskan bahwa pihaknya belum melihat alasan mendesak untuk segera memangkas suku bunga, dan akan menunggu kejelasan lebih lanjut terkait kondisi ekonomi dan laju inflasi ke depan.

Pertanyaan Umum Seputar Tarif

Meskipun tarif dan pajak keduanya menghasilkan pendapatan pemerintah untuk mendanai barang dan jasa publik, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Tarif dibayar di muka di pelabuhan masuk, sementara pajak dibayar pada saat pembelian. Pajak dikenakan pada wajib pajak individu dan perusahaan, sementara tarif dibayar oleh importir.

Ada dua pandangan di kalangan ekonom mengenai penggunaan tarif. Sementara beberapa berpendapat bahwa tarif diperlukan untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang lain melihatnya sebagai alat yang merugikan yang dapat berpotensi mendorong harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan menyebabkan perang dagang yang merusak dengan mendorong tarif balas-membalas.

Selama menjelang pemilihan presiden pada November 2024, Donald Trump menegaskan bahwa ia berniat menggunakan tarif untuk mendukung perekonomian AS dan produsen Amerika. Pada tahun 2024, Meksiko, Tiongkok, dan Kanada menyumbang 42% dari total impor AS. Dalam periode ini, Meksiko menonjol sebagai eksportir teratas dengan $466,6 miliar, menurut Biro Sensus AS. Oleh karena itu, Trump ingin fokus pada ketiga negara ini saat memberlakukan tarif. Ia juga berencana menggunakan pendapatan yang dihasilkan melalui tarif untuk menurunkan pajak penghasilan pribadi.

 

Harga Minyak Mentah Hari ini: Harga WTI Sebagian Besar Tidak Berubah pada Pembukaan Sesi Eropa

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik pada hari Selasa, di awal sesi Eropa.
Baca selengkapnya Previous

IHSG Dibuka dengan Gap Bawah yang Besar di Bawah 6.000, Mencoba Bangkit di Sesi Kedua

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia berada di 5.985,60 pada saat berita ini ditulis.
Baca selengkapnya Next