Harga Batubara Merosot semakin Dalam, Capai 96,40 USD/Ton, Cerrejon Kurangi Produksi
- Harga batubara terus meluncur lebih jauh di bawah 100 USD/Ton, mencatatkan pelemahan 5,86% bulan ini, sentuh level 96,40 USD/Ton.
- Anak perusahaan Glencore, Cerrejon akan mengurangi produksi tambang 5-10 juta ton per tahun.
- Kenaikan tarif royalti yang diumumkan Kementerian ESDM Indonesia memicu protes.
Pada hari Rabu, harga batubara terperosok semakin dalam hingga tembus di bawah 100 USD/Ton ke 96,40 USD/Ton, yang telah melemah 5,86% sepanjang bulan ini, mencatatkan terendah dalam hampir empat tahun. Kontrak berjangka batubara Newcastle turun ke $97 per ton pada bulan Maret. Penurunan ini disebabkan meningkatnya produksi batubara.
Menurut Kementerian Batubara India, India kembali mencetak rekor dalam industri batu bara, melampaui produksi 1 miliar ton pada 20 Maret, 11 hari lebih cepat dibandingkan tahun lalu yang mencapai 997,83 juta ton. Pencapaian ini didorong oleh kolaborasi kuat antara perusahaan pertambangan BUMN, sektor swasta, dan lebih dari 500.000 pekerja tambang yang bekerja di lebih dari 350 lokasi tambang. Sebagai tulang punggung energi nasional, batu bara menyumbang 55% dari bauran energi India, dengan 74% listrik negara dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
CNBC melaporkan bahwa penurunan harga batubara juga dipicu akibat pengiriman batubara ke Tiongkok yang diprakirakan anjlok 15% (yoy) pada kuartal pertama 2025, mencatatkan titik terendah dalam tiga tahun terakhir, menurut Filipe Gouveia, Manajer Analisis Pengiriman. Perlambatan jalur laut dipicu oleh lesunya permintaan domestik serta persaingan ketat dari pasokan lokal dan impor via jalur darat. Batu bara termal menjadi yang paling terpukul, sementara pengiriman batubara kokas juga mengalami penurunan. Dalam dua bulan pertama 2025, permintaan batubara termal merosot karena menurunnya produksi listrik berbasis batubara sebesar 6% (yoy), menekan konsumsi dan mengurangi aktivitas pembangkit.
Cerrejon (anak perusahaan Anglo-Swiss Glencore), salah satu produsen batu bara terbesar di Kolombia, mengumumkan pada Selasa bahwa mereka akan mulai mengurangi produksi di tambangnya sebesar 5 hingga 10 juta ton per tahun. Dengan kebijakan ini, total output tahunan Cerrejon akan turun ke kisaran 11 hingga 16 juta ton. Keputusan ini dilakukan karena harga batubara termal yang diangkut melalui laut tidak stabil.
Indonesia mencatat rekor produksi batu bara pada 2024, menembus 836 juta ton, 18% di atas target. Namun, ekspansi energi alternatif secara masif mulai mengaburkan prospek permintaan batu bara di masa depan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan sebelumnya bahwa target produksi batubara 2025 sebesar 735 juta ton, lebih rendah dari capaian pada tahun 2024. Penurunan produksi ini diharapkan dapat mendongkrak harga batubara.
Selain itu, industri batubara di dalam negeri menghadapi tekanan baru dengan wacana kenaikan tarif royalti, yang berpotensi membebani operasional perusahaan tambang dan mempengaruhi daya saing di pasar global.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Tri Winarno, memahami bahwa revisi tarif royalti batu bara menimbulkan pro dan kontra di industri. Kebijakan ini menuai sorotan karena tarif royalti bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menurun, sementara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) justru harus menghadapi kenaikan tarif. Tri menjelaskan bahwa perubahan tarif royalti di sektor minerba bertujuan untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sejalan dengan target tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 124,5 triliun.